Psikologi FOMO dan Dampaknya pada Mental

FOMO atau fear of missing out adalah fenomena psikologis yang bikin kita terus merasa ketinggalan sesuatu. Dalam psikologi FOMO, kondisi ini sering dikaitkan dengan kecemasan sosial dan kecanduan media digital. Banyak orang merasa tertekan karena selalu membandingkan hidup mereka dengan yang dilihat di layar. Padahal, apa yang tampak di sosial media belum tentu realita. FOMO bisa memicu stres, kurang percaya diri, bahkan gangguan tidur. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa lebih serius pada kesehatan mental. Nah, kenali dulu tanda-tandanya biar bisa mengelola perasaan ini dengan lebih baik.

Baca Juga: Cara Investasi Saham untuk Pemula yang Tepat

Apa Itu FOMO dalam Psikologi

FOMO (Fear of Missing Out) dalam psikologi merujuk pada perasaan cemas atau tidak nyaman karena merasa orang lain mengalami hal-hal lebih menyenangkan tanpa kita. Ini bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi dorongan kuat untuk terus terhubung—seolah-olah melewatkan satu momen saja bisa membuat kita "kalah" dalam hidup. Menurut American Psychological Association (APA), FOMO terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk merasa diterima dan diakui dalam kelompok sosial.

Dari sudut pandang psikologis, FOMO sering muncul karena perbandingan sosial—kita mengukur kebahagiaan diri berdasarkan apa yang dilihat di media sosial, padahal yang ditampilkan seringkali hanya sorotan terbaik. Riset dari Journal of Social and Clinical Psychology menunjukkan bahwa orang yang sering mengalami FOMO cenderung punya tingkat kecemasan lebih tinggi dan kepuasan hidup lebih rendah.

Fenomena ini juga erat kaitannya dengan dopamin, zat kimia di otak yang memicu rasa senang saat dapat update baru atau likes. Otak kita jadi "kecanduan" sensasi ini, makanya sulit berhenti scroll-scroll. Tapi yang bikin bahaya adalah ketika FOMO mulai mengganggu keseharian—misalnya, sulit fokus kerja karena takut ketinggalan notifikasi, atau merasa minder karena lihat teman-teman seolah lebih sukses.

Kalau kamu sering merasa gelisah saat melihat story orang lain jalan-jalan atau nongkrong, bisa jadi itu tanda FOMO. Kenali dulu pola pikir ini, baru cari cara untuk mengelolanya.

Baca Juga: Strategi Trading Harian Untuk Saham Jangka Pendek

Penyebab Munculnya FOMO

FOMO muncul karena kombinasi faktor psikologis, sosial, dan teknologi. Salah satu pemicu utamanya adalah media sosial. Platform seperti Instagram atau TikTok dirancang untuk memicu rasa penasaran—setiap scroll memberi kesempatan baru untuk melihat hidup orang lain yang terlihat lebih seru. Menurut Harvard Business Review, algoritma media sosial sengaja memperkuat FOMO dengan menampilkan konten yang bikin kita merasa "harus ikutan".

Selain itu, FOMO juga dipengaruhi oleh kebutuhan akan validasi sosial. Sebagai makhluk sosial, kita punya insting alami untuk diterima dalam kelompok. Ketika melihat orang lain berkumpul atau mencapai sesuatu, otak kita menganggap itu sebagai "ancaman" untuk diabaikan. Penelitian dari [Psychology Today](https://www.psychologytoday.comaskan bahwaaskan bahwa orang dengan kepercayaan diri rendah lebih rentan mengalami FOMO karena terus mencari pembuktian dari luar.

Faktor lain adalah ketidakpuasan terhadap hidup sendiri. Kalau kita merasa stuck atau kurang bahagia, mudah sekali tergoda membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Ditambah lagi, kebiasaan multitasking dan konsumsi informasi berlebihan bikin otak sulit rileks—kita jadi selalu waspada, takut ketinggalan sesuatu yang penting.

Terakhir, fear of regret (takut menyesal) juga berperan. Banyak orang khawatir, "Bagaimana kalau aku melewatkan peluang besar hanya karena tidak online?" Padahal, yang sering terjadi justru sebaliknya: terlalu sibuk mengikuti orang lain malah bikin kita kehilangan momen di kehidupan nyata.

Baca Juga: Ciptakan Konten Viral Di Media Sosial

Dampak FOMO pada Kesehatan Mental

FOMO bukan cuma bikin kita kecanduan scroll—tapi juga punya dampak serius pada kesehatan mental. Salah satu efek paling umum adalah kecemasan berlebihan. Studi dari National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa orang yang sering mengalami FOMO cenderung punya kadar stres lebih tinggi, karena otak terus-menerus dalam mode "waspada" terhadap apa yang terjadi di luar.

Dampak lain adalah gangguan tidur. Banyak orang sulit lepas dari ponsel sebelum tidur karena takut ketinggalan update, padahal cahaya biru dari layar mengacaukan produksi melatonin—hormon yang mengatur tidur. Akibatnya, kualitas istirahat menurun dan mood jadi mudah tersinggung. Sleep Foundation bahkan menyebut FOMO sebagai salah satu penyebab insomnia di kalangan generasi muda.

Yang lebih berbahaya, FOMO bisa memicu **perasaan rendah Ketika Ketika terus membandingkan hidup dengan highlight reel orang lain, kita mulai meragukan diri sendiri: "Kenapa aku tidak sebahagia mereka?" Menurut Mayo Clinic, pola pikir ini berisiko memicu depresi ringan, terutama jika sudah mengganggu aktivitas sehari-hari.

Terakhir, FOMO sering bikin kita lupa menikmati momen saat ini. Alih-alih fokus pada pengalaman sendiri, energi mental habis untuk mengawasi kehidupan orang lain. Ini bisa merusak hubungan nyata dan mengurangi kepuasan hidup. Kalau dibiarkan, bukan tidak mungkin FOMO berkembang jadi masalah psikologis yang lebih serius.

Baca Juga: Kesehatan Mental dan Bisnis Wellness Industry

Cara Mengatasi FOMO Secara Sehat

Mengatasi FOMO butuh kombinasi kesadaran diri dan perubahan kebiasaan. Pertama, atur batasan dengan media sosial. Coba aplikasi seperti Freedom atau fitur screen time di ponsel untuk membatasi waktu scroll. Penelitian dari Journal of Behavioral Addictions memb mengurangi pap mengurangi pap mengurangi paparan media sosial 30 menit sehari sudah menurunkan gejala FOMO.

Kedua, fokus pada JOMO (Joy of Missing Out)—kebalikan dari FOMO. Alih-alih khawatir ketinggalan, nikmati kesendirian atau momen offline. Misalnya, habiskan waktu dengan baca buku atau jalan-jalan tanpa posting. Situs Greater Good Magazine UC Berkeley menyarankan praktik mindfulness untuk melatih pikiran agar lebih hadir di saat ini.

Ketiga, buat prioritas realistis. Tanyakan: "Apa benar aku perlu ikut setiap acara atau tahu semua tren?" FOMO sering muncul karena kita lupa memfilter mana yang penting dan mana yang sekadar hiburan. Tools seperti Notion bisa membantu mengorganisir tujuan pribadi agar tidak terbawa arus.

Terakhir, bangun koneksi nyata. Daripada stalking teman di Instagram, lebih baik ajak ngopi langsung atau telepon. Interaksi tatap muka memberi kepuasan emosional yang tidak bisa digantikan likes atau komentar. Kalau FOMO sudah mengganggu produktivitas, jangan ragu konsultasi ke profesional—platform seperti BetterHelp menyediakan terapi online untuk isu-isu semacam ini.

Baca Juga: Edukasi Phishing dan Modul Keamanan Digital Pelajar

Peran Media Sosial dalam Memicu FOMO

Media sosial adalah bahan bakar utama FOMO—platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter dirancang untuk membuat kita terus.. Fitur seperti stories yang hilang dalam 24 jam atau trending topics menciptakan rasa urgensi palsu: "Kalau tidak cek sekarang, aku akan ketinggalan!" The Social Dilemma, dokumenter Netflix, menjelaskan bagaimana algoritma sengaja memanipulasi psikologi pengguna untuk meningkatkan engagement.

Desain media sosial juga memicu perbandingan sosial yang tidak sehat. Kita melihat potongan sempurna dari hidup—lib—liburan mewah, karier sukses, hubungan romantis—tanpa konteks sebenarnya. Padahal, menurut Reed College, 70% konten di media sosial adalah curated reality (realita yang sudah dipilih). Tapi otak kita tetap memprosesnya sebagai tolak ukur, lalu merasa kurang.

Notifikasi adalah senjata lain. Setiap ping memicu pelepasan dopamin, zat kimia otak yang bikin ketagihan. Studi MIT Sloan menunjukkan bahwa orang rata-rata cek ponsel 58 kali sehari—sebagian besar karena takut ketinggalan update.

Yang paling berbahaya adalah efek lingkaran setan: semakin sering kita scroll, semakin banyak konten yang memicu FOMO ditampilkan algoritma. Solusinya? Sadari bahwa media sosial bukan cerminan realita, dan kita selalu punya pilihan untuk log off.

Baca Juga: Agen SEO Profil Backlink Layanan Terbaik

Tips Menjaga Keseimbangan Mental

Menjaga keseimbangan mental di tengah serbuan FOMO butuh strategi praktis. Pertama, jadwalkan waktu offline. Misalnya, pasang alarm untuk "puasa media sosial" 1-2 jam sehari—gunakan waktu ini untuk aktivitas yang bikin rileks, seperti masak atau olahraga. Calm, aplikasi meditasi, menyarankan teknik pernapasan sederhana untuk mengurangi kecemasan akibat FOMO.

Kedua, latih digital minimalism—kurangi akun yang tidak perlu diikuti. Unfollow akun yang bikin kamu merasa kurang, atau mute sementara teman yang sering overshare. Menurut Digital Wellness Institute, membersihkan feed media sosial bisa hingga hingga 40%.

Ketiga, buat ratituderatitude journal. Tulis 3 hal sederhana yang kamu syukuri setiap hari—bisa berupa kopi pagi yang enak atau obrolan seru dengan keluarga. Riset dari Harvard Health membuktikan bahwa kebiasaan ini meningkatkan kepuasan hidup dan mengurangi kecenderungan membandingkan diri.

Terakhir, tetapkan no-phone zones. Misalnya, tidak bawa ponsel ke kamar tidur atau saat makan. Gunakan aplikasi seperti Forest untuk melatih fokus tanpa gangguan. Ingat: kamu berhak menikmati momen tanpa harus membagikannya ke orang lain. Keseimbangan mental dimulai dari kesadaran bahwa hidup bukan untuk dipamerkan, tapi dijalani.

Baca Juga: Strategi Efektif Promosi Acara Daerah dengan Mudah

Konseling Psikologi untuk FOMO

Kalau FOMO sudah mengganggu kehidupan sehari-hari—misalnya bikin sulit tidur, kerja, atau menjaga hubungan—konseling psikologi bisa jadi solusi. Terapis sering menggunakan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk membantu klien mengidentifikasi pola pikir yang memicu FOMO, "A "Aku harus selalu update" atau "Aku akan dianggap tidak keren kalau tidak ikutan". American Psychological Association menjelaskan bagaimana CBT efektif mengubah keyakinan tidak rasional ini.

Dalam sesi konseling, kamu juga akan diajak mengeksplorasi akar masalah—apakah FOMO muncul karena rasa tidak aman, kesepian, atau tekanan sosial? Tools seperti WHO-5 Well-Being Index kadang dipakai untuk mengukur dampak FOMO pada kesejahteraan mental.

Untuk kasus berat yang disertai gejala kecemasan, terapis mungkin merekomendasikan teknik grounding atau latihan mindfulness. Platform seperti Headspace menyediakan modul khusus untuk mengurangi ketergantungan pada media sosial.

Yang penting, konseling memberi ruang aman untuk bicara jujur tanpa dihakimi. Kamu bisa cari psikolog via Alodokter atau Konsula—banyak yang menawarkan sesi online kalau malu bertatap muka. Ingat: mencari bantuan profesional bukan tanda kelemahan, tapi langkah bijak untuk mengendalikan hidupmu kembali.

kesehatan mental
Photo by Rodion Kutsaiev on Unsplash

FOMO mungkin terlihat sepele, tapi dampak FOMO mental bisa menggerogoti kebahagiaan sehari-hari. Mulai dari kecemasan berlebihan sampai rasa tidak pernah cukup dengan hidup sendiri. Kabar baiknya, kamu bisa mengambil kendali—dengan batasi paparan media sosial, fokus pada momen nyata, dan kalau perlu, cari bantuan profesional. Hidup bukan tentang mengejar semua yang orang lain lakukan, tapi menemukan apa yang benar-benar penting buatmu. Langkah kecil seperti mematikan notifikasi atau ngobrol langsung dengan teman bisa jadi awal perubahan besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *